NDAK AKAN "KERE" karena SEDEKAH..!
Miturut poro alim ulama, suatu benda ataupun rejeki bisa dikatakan barokah manakala memenuhi salah satu dari 3 ciri di bawah ini :
1. Bermanfaat bagi banyak makhluk.
2. Tidak berkurang manakala dimanfaatkan.
3. Jumlahnya bertambah manakala dimanfaatkan.
Jika kita pingin mendapat rejeki yang barokah, maka syarat pertama adalah rejeki tersebut harus bisa dimanfaatkan oleh banyak orang, bahkan banyak makhluk. Untuk mencapai tujuan ini maka kita harus mau berbagi. Manakala si empunya rejeki merupakan menungso kikir, bakhil,uthil, medhit, pelit, atau dalam bahasa masa kecil simbah biasa disebut ‘Cino Dimpil"’, maka…. sudahlah nggak usah mengharap rejekinya barokah.
Barokah tidak datang pada rejekinya si Cino dimpil ini. Namun ini bukannya tanpa kendala. Akal sehat manusia -yang sebenarnya sakit- berpikir, “Lha kalo rejeki tak bagi-bagi, nanti bagian saya kan berkurang. Bisa jadi miskin nantinya saya. Berbagi itu kan kalo duitnya turah mblasah. Ha wong duit ngupret sak upret kok disuruh mbagi. Ha kok le ngimut.emange dwete mbahmu po..”
Lha kalo sudah mikir begitu, itu namanya kemakan sama gambusan dan gabrulannya mbah Iblis laknat. Sebagemana sudah dipituturkan sama Sang Murbeng Jagad :
“Syaithon itu menjanjikan kefakiran buat kalian dan memerintahkan kalian untuk berbuat keji. Sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan karunia-Nya. Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui.” (Al Baqoroh:268)
Jadi dengan berbagi tidak akan mbikin orang jadi fakir miskin, itu cuma bualan setan alas kobar saja. Secara nominal, duitnya berkurang. Dalam angka, dalam kuantitas. Namun secara kualitas uang tersebut bisa mendatangkan banyak manfaat yang sering tidak kita lihat.
Satu contoh konkrit, ada seorang pasien pegawe Pertamina yang secara nominal angka, duitnya sak hohah. Namun seiring dengan itu, hampir separoh lebih penghasilannya habis buat berobat dirinya yang sakit diabetes, isterinya pun juga memiliki problem yang sama. Keluar masuk rumah sakit dengan bermacam keluhan. Dari kencing batu, katarak, hipoglikemik, hiperglikemik dan segudang penyakit lainnya.
Sementara itu di satu sisi, seorang sohib mlarat dengan penghasilan di bawah UMR hidup pas-pasan. Dia masih bisa menyisihkan untuk sedekah rutin tiap harinya. Kelihatannya hidupnya gak mitayani, namun simbah lihat keluarga tersebut sehat segar bugar, bisa ketawa-ketiwi, gak diributi beban macam-macam. Simbah cuma husnudhon, sedekahnya membentengi keluarga mlarat ini dari musibah yang pating clekunik.
Seorang konco SMA dulu waktu sekolah jaman SMA cuma disangoni seribu ripis. Buat dia, utnuk makan saja gak maregi. Waktu diminta sedekahnya dia beralasan, “Ha wong buat makan saja gak wareg kok dijaluki sedekah, sampeyan ki opo gak mikir..?” katanya.
Sama konco simbah yang lain dijawab, “Sing pekok ki awakmu. Ha wong jelas sewu gak wareg, mestinya kalo disedekahkan satus lak yo juga gak wareg. Sama-sama gak waregnya, tapi yang satu kan bisa sedekah satus. Makanya sedekahkan gak ketang satus. Mudah-mudahan yang sembilan ratus bisa mbikin wareg…”
Simbah pikir itu solusi cerdas. Jadi kalo sampe saat ini sampeyan masih berpikir rejeki itu berkurang dengan berbagi, maka berarti sampeyan masih berpikir bahwa rejeki itu hanya duit. Padahal tidak begitu. Memang kalo duit itu dibagi, maka akan berkurang. Tapi berkurangnya duit karena berbagi itu bisa saja mendatangkan rejeki yang lain yang nilainya lebih besar dari sekedar besaran angka duit. Dan inilah yang namanya barokah.
Hanya saja dengan sifat individuil dan rakusnya manusia jaman sekarang, setiap dia mendapat rejeki, selalu yang terpikir dalam dirinya ingin memanfaatkan rejeki itu sebatas untuk dirinya sendiri. Maka ini membatasi kemanfaatan rejeki tersebut. Dan sudah pasti rejeki model begini ini tercabut barokahnya.
Siapkah kita berbagi rejeki? Segala macam rejeki? Uang, ilmu, teman, waktu, tenaga, pikiran, …. dlsb, semuanya adalah rejeki yang kita bisa berbagi dengannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar